Jumat, 19 November 2010

Segintung Kasus Berbahaya

Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kalteng akan mendalami kasus pembangunan Pelabuhan Teluk Segintung.  Saksi yang diduga terkait erat dengan kasus ini akan dipanggil.
Kasus pembangunan  Pelabuhan Teluk Segintung, Kuala Pembuang, Seruyan, senilai Rp112.736 miliar yang sedang ditangani Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kalteng, bisa jadi kasus terbesar di daerah ini. Jika kasus ini terbukti, ini merupakan kasus besar dan berbahaya yang harus ditangani secara serius.


Muhammad Jusuf,  Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Kalteng menekankan, bicara kasus korupsi, itu merupakan primadona di Kejaksaan. Dan, bicara  Segintung, ini adalah kasus dengan kemungkinan negara dirugikan hingga mencapai miliaran rupiah.

“Jadi, untuk penanganan kasus Segintung, kita akan mendalaminya. Untuk itu, kami tidak akan gegabah,” kata Jusuf pada acara jumpa pers di ruangannya, Kamis (18/11).

Proses penyelidikan Segintung telah selesai ditangani Asisten Intelijen Kejati Kalteng.  Tahapan berikut penyidikan yang akan ditangani Asisten Pidana Khusus (Asspidsus). “Dalam waktu yang tidak lama lagi, kami bakal mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan (Sprint-Dik),” kata Jusuf.

“Kita harus cari benang merahnya dulu. Penyelidikan lebih mendalam bakal dilakukan Pidsus yang akan memanggil beberapa pihak lainnya yang diduga terkait proyek pembangunan dermaga laut ini,” terang Jusuf.

Terkait keterangan lima kontraktor, Jusuf menjelaskan, tidak mungkin lelang fiktif karena pasti ada surat jaminan dari bank. Bila ada pemalsuan dokumen, perlu dilakukan cek ke bank terlebih dulu. “Jika benar palsu, maka ini termasuk kasus berbahaya dan perlu penanganan yang sangat serius,” tegas Jusuf.

Sementara dalam jumpa pers, Asspidsus Kejati Kalteng Gatot Irianto mewakili Kajati Kalteng saat menjawab pertanyaan wartawan seputar kasus Segintung, mengaku dirinya belum menerima secara langsung berkas pelimpahan kasus Segintung dari Assintel. Dia baru mengetahui ada masalah ini saat ekspos internal beberapa waktu lalu. “Yang jelas, kalau berkasnya sudah saya terima, segera dilakukan penyidikan,” ungkap Gatot.

Namun, Kasi Penerangan dan Hukum Kejati Ponco Santoso menyatakan sebenarnya berkas sudah diserahkan ke Pidsus sejak Selasa (16/11), mungkin belum sampai di tangan Asspidsus.

Kurang lebih dua bulan belakangan ini, tim penyelidik dari Assintel Kejati Kalteng secara marathon menyelidiki kasus proyek pembangunan Pelabuhan Teluk Segintung yang menghebohkan.

Berbagai sumber sudah dimintai keterangan, di antaranya lima kontraktor yang disebut-sebut mengikuti tender, namun kemudian menolak, seperti PT Prestasi Karya Mulya, PT Yala Persada Angkasa, PT Agra Budi Karya Marga, PT Tunggal Utama Lestari, dan PT Hutama Karya.

Selain lima kontraktor, tim penyelidik Kejati juga sudah mengorek keterangan dari panitia lelang, Kepala dan Bendahara Dinas Perhubungan Seruyan, serta pihak pemenang tender PT Swa Karya Jaya.  Dari hasil penyelidikan,  tim penyelidik mengendus adanya dugaan dokumen lima perusahaan yang disebut-sebut mengikuti lelang itu dipalsukan.

Tim penyelidik Kejati Kalteng untuk sementara akan mengenakan pasal 9 jo pasal 12 UU No.20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU No.30/1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, dengan ancaman hukuman minimal satu tahun penjara dan maksimal lima tahun. Dan, pidana denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta.

Cabut Izin Bermasalah

Sementara itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama Kontak Rakyat Borneo (KRB) dan Save Our Borneo (SOB) mengkritik kinerja konferensi meja bundar forum minyak sawit berkelanjutan atau Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) yang dengan mudah mengeluarkan sertifikat ’lestari’ kepada 13 perusahaan perkebunan sawit di Indonesia, termasuk di wilayah Kotim dan Seruyan.

Pasalnya, ada sejumlah dugaan pelanggaran HAM, lingkungan, serta aturan hukum yang berlaku. Ditemukan pula indikasi korupsi dalam perizinan operasi perkebunan.

Kritik ini disampaikan KRB, dan SOB, dua lembaga independen yang berpusat di Pontianak dan Palangka Raya serta ICW dalam jumpa pers di Jakarta, Jumat (12/11), seperti dikutip dari situs resmi ICW.

Wakil Koordinator ICW Emerson Yuntho menyebutkan, RSPO selama ini terlalu berorientasi pasar. Sering mengabaikan beragam persoalan hukum sebelum memberikan sertifikat ‘lestari’ kepada perusahaan perkebunan sawit. Padahal, dari data yang dirilis organisasi semacam Greenpeace dan Miliedefensie, sejumlah perusahaan yang mendapat sertifikat itu terbukti bermasalah. "(Data-data itu) tidak dijadikan pertimbangan RSPO dalam memberikan sertifikat ‘lestari’," ujar Emerson.

Dari penelusuran jaringan masyarakat sipil di Indonesia terungkap, pelanggaran hukum serius dilakukan oleh perusahaan perkebunan yang mengantongi sertifikat lestari RSPO. Dalam laporan yang dirilis Greenpeace, United Plantation di Kalteng terbukti dilakukan penebangan tanpa Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK). SOB juga melaporkan indikasi korupsi perizinan yang dilakukan perusahaan Wilmar International di wilayah Kabupaten Seruyan dan Kotim, Kalteng.

Berbekal laporan lengkap mengenai berbagai indikasi pelanggaran hukum dan dugaan korupsi itu, ICW dan lembaga partner akan melaporkan kasus ini kepada aparat penegak hukum. ICW juga akan menyampaikan laporan kepada RSPO. "Agar menjadi bahan evaluasi dalam penerbitan sertifikasi," tegasnya.

Hermawansyah dari KRB membenarkan banyak indikasi pelanggaran  dilakukan perusahaan perkebunan sawit bermasalah.  RSPO seakan hanya "menjual stempel" untuk meloloskan produk Crude Palm Oil (CPO) agar dapat masuk ke pasar luar negeri. Dikhawatirkan, bila hal ini terus berlanjut, legitimasi RSPO akan menurun. "RSPO harus memperketat proses seleksi pemberian sertifikasi," imbau Hermawansyah.

RSPO sebagai penjamin mutu produk minyak sawit asal Indonesia di pasar internasional, kata Hermawansyah, harus dapat memastikan perusahaan tidak melanggar aturan hukum, HAM, lingkungan, dan bersih dari indikasi korupsi.

Masalah perusahaan perkebunan sawit di kawasan Kotawaringin Timur dan Seruyan, Kalteng, kata Hermawansyah, umumnya berakar dari surat izin yang dikeluarkan pemerintah daerah. Berbekal izin lokasi dari Pemda setempat, perusahaan nekat memulai operasi.

"Padahal seharusnya, ada sejumlah tahap dilalui, mulai ijin pembebasan tanah dari masyarakat, ijin Amdal, ijin operasi, dan evaluasi. Namun biasanya perusahaan langsung potong kompas," ujarnya. Akibatnya, muncul beragam masalah terkait penyerobotan tanah rakyat, penggusuran, dan kerusakan lingkungan.
Pemberian izin yang terkesan dipermudah oleh pemerintah daerah ini mengindikasikan adanya dugaan korupsi dan gratifikasi. "Kami sedang mendalami masalah ini, dan mengumpulkan bukti-bukti," ujar Nordin dari SOB.

Menurut Nordin, dugaan ini muncul karena ada tren pemberian izin meningkat menjelang Pilkada. "Ada indikasi mengakali perijinan, dugaan gratifikasi dalam pemberian izin," ujarnya.
Bila terbukti terjadi pelanggaran, RSPO diminta mengevaluasi pengeluaran sertifikat ’lestari’. "Bahkan, ada kemungkinan sertifikat itu dicabut," tandas Hernawansyah.

Membantah

Sementara dua perusahaan yang disebut-sebut tiga LSM itu, Cargill Incorporated dan Wilmar Indonesia membantah. Bahkan, Cargill Incorporated melalui perwakilannya di Indonesia menyatakan pihaknya meminta RSPO memeriksa tuduhan korupsi yang disampaikan tiga organisasi sipil itu.

Maretha Sambe, Head of Communications and Corporate Responsibility PT Cargill Indonesia mengatakan, pihaknya akan memeriksa terlebih dahulu laporan tentang tuduhan tersebut sebelum berkomentar lebih jauh.

Dia juga mengundang RSPO untuk memeriksa dugaan atas perusahaan tersebut. "Kami mengundang RSPO untuk memeriksa tuduhan-tuduhan tersebut. Kami juga siap bekerja sama dengan instansi pemerintah secara terbuka dan transparan," ujar Maretha.

Di tempat terpisah, MP Tumanggor, Komisaris PT Wilmar Group membantah adanya pemanfaatan lahan di Kalteng yang ilegal. Perusahaan memang memanfaatkan lahan seluas 80.000 hektar di Kabupaten Kotim, tetapi sudah sesuai dengan izin dari Pemkab Kotim, Gubernur Kalteng, Badan Pertanahan Nasional, dan Kementerian Kehutanan.

"Jadi tidak benar adanya tuduhan penerbitan izin ilegal itu," tegas Tumanggor. (Sumber : Kalteng.news.com)

1 komentar: